Kita semua tentu dapat merasakan secara langsung kenikmatan setiap berjumpa dengan suasana Idul Fitri. Suasana gembira dan bahagia itu, adalah buah perjuangannya melaksanakan tugas suci selama bulan ramadan dengan selamat. Ada rasa bangga dan puas menghias dihati karena keberhasilan memenangkan pertarungan kemarin.
Bobot kegembiraan serta dosis kebahagiaan yang dirasakan, tergantung pada kadar kemenangan yang diperoleh yang diukur dari wujud kepatuhan dan ketaatn kepada Allah selama bulan Ramadhan. Erat kaitannya dengan kualitas puasanya di siang hari, dengan ibadah dzikirnya serta do’a munajatnya pada malam hari, termasuk infaq, zakat dan shodaqohnya.
Alangkah indah dan nikmatnya suasana kehidupan seperti ini. Semua orang serempak menjadi dermawan, membagi harta dan senyumnya disetiap pelosok desa dan kota, masing-masing berusaha tampil sungguh-sungguh menjadi orang yang paling disenangi. Orang berlomba memberi maaf tanpa diminta, nampak dan terasa tak ada dendam yang sisa, semuanya pupus dan terhapus, luluh dan tuntas.
Itulah yang kita temukan sepanjang hari, senyum yang manis, sapaan yang mesra, tatapan mata yang tulus dan bersahabat dari setiap orang. Semua pihak berusaha keras untuk ramah. Masing-masing membuka pintu rumahnya, siap menerima tamu berapapun banyaknya, dijamin pasti akan disambutnya dengan penuh ramah dan mesra. Dapat dikatakan angin kedamaian betul-betul bertiup keras menyebarkan kesejukan yang nikmat dan nyaman sekali.
Model kehidupan seperti inilah sesungguhnya kebutuhan yang paling mendesak pada saat ini. Sebuah kehidupan yang dilandasi oleh cinta dan pengorbanan, dihiasi oleh saling pengertian yang dipadati kasih sayang.
Persis seperti itulah kehidupan yang ditawarkan Islam kepada dunia yang memang sangat membutuhkannya. Kehidupan yang tidak dihiasi dengan curiga dan buruk sangka. Model itulah masyarakat Islami sesungguhnya, yang menjadi cita-cita dan dambaan kerinduan perjuangan ummat Islam selama ini.
Untuk mewujudkan keimanan dan ketentraman, Allah mengajak ummat ini menjadi ummat pemaaf sebagai sumber kestabilan sekaligus kunci kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat. Harus dari sana memulainya, dan begitulah caranya.
Dengan kalimat dan ungkapan yang sangat menyentuh dan menggugah ini, dengan logika yang begitu halus tapi cukup tajam, yang diajak bicara adalah hati nurani kita yang paling dalam, lewat sentakan kejujuran yang begitu halus, begitu akrab, bahkan begitu mesra, serta ucapan yang begitu polos dan terbuka, sehingga hati betul-betul dibikinnya menjadi luluh.
Allah meminta kita untuk memberi maaf bahkan mengulurkan tangan kemesraan kepada mereka yang berbuat salah, dengan alasan setiap orang sangat menginginkan ampunan dan maaf dari Allah terhadap sekian banyak dosa dan kesalahannya. Karena kalau tidak berarti celakalah pasti hidupnya nanti. Setiap orang yang masih waras, sehat dan normal, pasti sangat mengharapkan ampunan dan maghfiroh dari Allah, tanpa kecuali. Tanpa ampunan berarti akan menghadap Allah dengan segunung dosa. Dinyatakan itu dengan firmanNya dalam surat An Nur ayat 22 :
“………Hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah memaafkan kamu? Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sungguh begitu halus daya sentuh logika yang digunakan Allah dalam menggugah kita menjadi ummat pemaaf sebagai bentuk kepribadian dan warna sifat perwatakan kita. Perwatakan itulah modal dalam menciptakan hidup yang penuh kedamaian yang sudah lama menjadi dambaan dan harapan semua ummat manusia.
Tidak sedikit kasus yang cukup mengerikan pada mulanya, hingga terbayang mala petaka dan bencana besar akan menimpa, berhasil diredam dan diatasi hanya dengan MAAf saja. Bukankah kita semua telah mengakui kalau maaf jauh lebih tinggi nilai kemanusiaannya dan lebih banyak dosis kegunaan daya tolongnya serta lebih tebal kadar nilai kebenarannya daripada keadilan itu sendiri?
Masih cukup segar dalam ingatan kita peristiwa maha bersejarah di zaman Kholifah Abu Bakar As Shidiq. Pada saat itu Umar ibnu Khotob yang diamanati menjadi hakim, ternyata setahun kemudian mengembalikan mandatnya, meletakkan jabatannya, mengakhiri masa tugasnya kepada kholifah dengan alasan begitu tepat. Ia mundur sebagai hakim bukan karena tugas makin berat dan perkara yang makin bertumpuk, melainkan tidak ada perkara, tidak ada orang yang bersengketa. Terasa tidak ada kerjanya dan tidak begitu diperlukan hakim di negeri seperti itu, akibatnya hakim menjadi penganggur yang digaji. Daripada begitu tentu lebih baik mundur.
Persoalannya karena semua anggota masyarakat tidak ada lagi yang kikir dan serakah, semua berlomba untuk banyak memberi dan menjadi orang pemaaf. Kalau anggota masyarakat sudah seperti itu, apalagi yang mau menjadi perkara? Bukankah perkara timbul akibat dari pada sifat kikir dan serakah pada diri anggota masyarakat ?
Bukankah pengalaman selama ini berkata, perkara menjadi banyak karena barang dan hak orang lain ingin pula diambil dan dikuasai sebagai miliknya, agar menjadi lebih banyak lagi hartanya. Sekarang ini hampir setiap orang seperti itu. Saking tingginya daya tarik harta, akhirnya iman tidak terasa sebagai kekayaan yang lebih banyak gunanya.
Bahayanya kalau sifat serakah dan kikir mulai menjamur, alamat proses kehancuran sudah diambang pintu, sebab dengan sifat tersebut pasti kemesraan tidak ada lagi, berganti dengan cekcok, silang selisih dan sengketa, yang akhirnya menumpulkan peran agama dalam masyarakat. Tak ada lagi kasih sayang, yang ada justru kebencian dan permusuhan. Manakala sudah demikian alamat kehancuran sudah dekat, minimal enak dan berkahnya hidup akan dicabut.
ditulis oleh :admin