Ilmu Tajwid


4 Adab Mendengarkan Bacaan Al Qur’an
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Al Qur’an adalah Firman Allah swt yang diturunkan kepada khatamul anbiya’, maka sudah seharusnya kita sebagai umat Nabi Muhammad mempunyai tata krama atau adab dalam mendengarkan bacaan Al Qur’an. dan artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yaitu: 12 Adab Membaca Al Qur’an Beserta Dalilnya.

Perlu diingat sebelumnya,bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana yang ditunjukkan dalam Al Qur’an sebagai berikut:
1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak berguna. (Q.S. 23, Al-Mu’minun:3).
2. Apabila disebut ayat-ayat Allah, maka bertambah iman karenanya. (Q.S. 8, Al-Anfal:2).
3. Mendengarkan bacaan Al Qur’an dengan penuh khidmat. (Q.S. 7, Al-A’raf:204).
4. Mencucurkan air mata karena kagum akan kebenaran isi kandungan Al Qur’an, serta takut tidak dapat melaksanakan. (Q.S. 5, Al-Maidah:83).
5. Jika Al Qur’an dibaca orang, ia menjadi meniarap sujud dan menangis. (Q.S. 17, Al-Isra’:108 dan Q.S. 19, Maryam: 58).
6. Mengikuti bacaan yang telah dibaca oleh orang yang mampu membaca Al Qur’an. (Q.S. 75, Al-Qiyamah: 17-18).
7. Memperhatikan apa yang telah dibaca dari Al Qur’an dengan cara merenung, memahami, menghayati, dan mengamalkannya. (Q.S. 23, Al-Mu’minun:69)

Dari beberapa nukilan ayat-ayat diatas, maka keharusan pendengar Al Qur’an adalah memperhatikan bacaan orang lain dengan cara sebagai berikut:
1. Mengikuti dan memperhatikan bacaan seseorang agar ia mendapat rahmat dari Allah swt.
2. Menegur pembaca yang keliru dan memberi tahu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
3. Jangan sekali-kali mengganggu orang yang sedang membaca Al Qur’an karena hal itu (membaca Al Qur’an ) adalah perbuatan mulia. Terlebih tidak mengizinkan untuk membaca Al Qur’an ditempat tertentu bagi seseorang yang mempunyai wewenang.
4. Bila perlu memberikan fasilitas lengkap untuk keperluan pembudayaan membaca Al Qur’an. Dengan demikian akan muncul prinsip ataupun semboyan “MengQur’ankan masyarakat dan memasyarakatkan Al Qur’an atau membudayakan Al Qur’an”. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Al Qur’an benar-benar menjadi perilaku masyarakat sebagaimana Nabi Muhammad Saw. perilakunya adalah Al Qur’an. (H.R. Aisyah).

Jika bacaan Al Qur’an dialunkan dengan merdu, tenang, tertib, dan baik, lagi pula isinya bertepatan dengan kondisi yang ada, maka bacaan Al Qur’an itu akan mudah mempengaruhi seseorang. Setidaknya orang sedih dapat menjadi senang, orang bingung dapat mencari jalan keluar, dan orang yang keras dapat menjadi lunak.

Konon, sewaktu Umar Bin Khaththab belum masuk Islam, beliau sangat memusuhi Nabi Saw. dan umat Islam. Bahkan tidak segan-segan menyiksa dan menghina orang Islam. Suatu saat hatinya yang keras dapat diluluhkan oleh adiknya: Fatimah. Pada malam hari Umar akan menyiksa adiknya yang masuk Islam, namun niat buruknya terhenti karena Umar mendengar bacaan Al Qur’an adiknya, tepatnya ketika membaca surah Thaahaa. Sehingga dengan pengaruh bacaan adiknya tersebut, Umar langsung menemui Nabi saw. untuk masuk Islam dan belajar isi kandungan Al Qur’an.

12 Adab Membaca Al Quran Beserta Dalilnya Lengkap

Adab Membaca Al Qur’a Beserta Dalilnya Lengkap
Jika Al Qur’an dipandang sebagai mukjizat Nabi saw. yang paling besar dan abadi, serta pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat, maka sudah seharusnya cara membaca Al Qur’an diatur sedemikian rupa, sehingga pembaca mendapat berkah-Nya, baik berkah yang bersifat hissi maupun yang bersifat maknawi.

Karena itu, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumud Diin serta Imam Jalaluddin Asy-Syuyuti dalam kitabnya, Al-Itqan fii Ulumil Qur’an merumuskan beberapa adab atau tata krama membaca Al Qur’an, yaitu:

Pertama: Dianjurkan atau bahkan diwajibkan bersuci (berwudhu) sebelum membaca Al Qur’an. Menurut Imam Nawawi dalam At-Tibyan dan ijma’ ulama, berwudhu itu hukumnya sunah.
Menurut Imam Haramain, tidak makruh hanya saja meninggalkan keutamaan. Jika tidak ditemukan air, boleh dengan cara tayamum.
Menurut Imam Malik Orang yang sedang junub dan haid tidak boleh membacanya kecuali untuk kepentingan belajar dan zikir atau tahaffuzh (hafalan).
Allah swt. Berfirman:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya (Al Qur’an) kecuali orang-orang yang disucikan.” (Q.S 56, Al-Waqi’ah:79).

Pada ayat diatas, terdapat dua pemahaman:
1. Ketika berkeinginan membaca Al Qur’an, harus berwudhu terlebih dahulu bagi yang mempunyai hadas kecil dan harus mandi jika mempunyai hadas besar. Jadi Al Qur’an itu tidak boleh disentuh seseorang, kecuali dia telah bersuci dengan mandi dan wudhu.
2. Penafsiran ayat tersebut yang lebih esensi adalah, bahwa isi kandungan Al Qur’an tidak dapat disentuh oleh seseorang jika hatinya tidak disucikan. Barangsiapa yang hatinya bersih maka dia mendapat hikmah dan berkah dari isinya. Jika tidak, misalnya karena riya’ (pamer), maka dia tidak akan memperoleh apa-apa.

Dari uraian diatas, kita dapat mengambil kesimpulan untuk membenarkan kedua-duanya sehingga pembaca harus bersih secara hissiyah dan maknawiyah.

Kedua: Membaca Al Qur’an dengan tangan kanan atau bahkan dengan kedua tangan. Dengan begitu tampaklah bahwa Al Qur’an sangat mulia dibanding dengan barang atau benda-benda lain. Jika membawanya untuk berjalan, maka diapit pada dada oleh kedua tangan kita.

Ketiga: Membaca Al Qur’an di tempat yang bersih, baik dirumah, musholla maupun masjid. Tempat yang bersih tidak hanya bersih secara hissiyah, misalnya tidak terkena najis, tetapi juga bersih dalam arti maknawiyah. Yakni dibaca di tempat yang suci dan terhindar dari tempat-tempat maksiat sehingga kita sebagai pembaca tidak mencampuradukkan antara perbuatan baik dengan peruatan yang batil.

Keempat: Seyogyanya menghadap kiblat seperti ketika mengerjakan sholat, serta berpakaian yang sopan, bersih dan suci, kalau perlu menggunakan minyak wangi agar menambah ketenangan dan kesenangan dalam mambaca Al Qur’an, sehingga tidak merasa cepat bosan karenanya.

Kelima: Dibaca dengan rasa khusyuk, tenang, tertib, dan niatan yang ikhlas. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu menyucikan hadas terlebih dahulu kemudian bersiwak untuk membersihkan gigi, membaca seakan-akan Allah swt. melihatnya, dibaca sesuai dengan ketentuan tajwidnya, tidak tergesa-gesa, dan tidak terlalu mengeraskan suara agar supaya tidak mengganggu orang lain atau orang yang sedang sholat. Karena kalau mengganggu orang yang sholat wajib, maka bacaannya menjadi haram, sebab sesuatu yang sunah tidak boleh mempengaruhi yang wajib.
Jika kita berniat membaca Al Qur’an, maka tidak boleh karena rasa riya’ dan memikirkan aktifitas lain, hendaknya memperhatikan bacaan dan memahami makna serta menghayati isi kandungannya.

Keenam: Diawali dengan bacaan isti’adzah dan Basmalah agar terhindar dari godaan setan dan menuju pada perbuatan yang diridhoi oleh Allah swt. Terlebih lagi makna Basmalah yang berarti “atas nama Allah” yang mengandung pengertian bahwa membaca Al Qur’an itu semata-mata mewakili Allah untuk mensyiarkan agama Islam serta mengagungkan nama besar Allah.

Di samping itu, membaca isti’adzah dan Basmalah mempunyai dua fungsi:
1. Fungsi Hissiyah, yaitu pembaca terhindar dari kesulitan dalam pengucapan lafal-lafal Al Qur’an sehingga dengan membaca isti’adzah dan Basmalah ini, diharapkan terhindar dari godaan setan dan dapat melafalkannya sesuai dengan tata cara ilmu tajwid.
2. Fungsi Hukmiyah, yaitu pembaca terhindar dari godaan setan yang berkaitan dengan bisikan hati nurani sehingga setelah mengucapkan isti’adzah dan Basmalah tidak mempunyai sifat riya’, ujub (membanggakan amal baiknya), serta mendatangkan rasa ikhlas dan bersih hati.

Allah swt. Berfirman:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka jika kamu membaca Al Qur’an, hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk.” (Q.S. 16, An-Nahl:98)

وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ , وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
“Aku meminta perlindungan kepada-Mu (Allah) dari bisikan setan dan aku berlindung kepada-Mu (Allah) dari kedatangannya.” (Q.S. 23, Al-Mu’minun: 97-98).

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. (Q.S. , Al-Alaq:1).

Nabi saw. bersabda:

كُلُّ اَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَيُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ فَهُوَ اَقْطَعُ . رواه داود
“Setiap urusan yang penting tanpa dimulai dengan bacaan Basmalah, maka putus berkahnya.” (H.R. Abu Dawud).

Ketujuh: Bagi pembaca yang sudah mengerti artinya, maka harus benar-benar menghayati isi kandungannya, sehingga Al Qur’an mampu memberi makna hidup yang benar-benar dapat membahagiakan kehidupan pembaca. Sedangkan bagi yang belum mengerti artinya, harus berusaha belajar melalui terjemahan atau kepada orang yang ahli.

Kedelapan: Al Qur’an dialunkan dengan suara yang merdu dan enak didengar, sehingga dapat menarik minat baca bagi dirinya dan juga pendengan lainnya.

Kesembilan: Jangan membaca Al Qur’an selagi mengerjakan aktifitas lainnya. Contoh: berbicara dengan orang yang tidak berkaitan dengan bacaan yang kita baca, bermain-main serta aktifitas yang dapat merendahkan derajatnya. Mengingat Al Qur’an itu firman Allah dan dengan menghormati Al Qur’an berarti menghormati juga pembuatnya (Allah). Sebaliknya, bila merendahkannya maka sama halnya merendahkan Allah swt.

Kesepuluh: Menghentikan bacaan Al Qur’an jika pembaca sudah capek dengan maksud agar bacaannya tidak mudah keliru, serta bila pembaca menguap, kentut (keluar angin), dan mempunyai aktifitas lain yang lebih penting, misalkan sholat dan sebagainya.

Kesebelas: Hendaklah membaca Al Qur’an secara istiqamah (kontinue) walaupun pada setiap harinya hanya satu makra’. Karena istiqamah itu lebih baik daripada seribu karamah. Demikian juga seseorang yang hari esoknya lebih baik, maka ia menjadi orang yang beruntung, tetapi jika sama maka menjadi orang yang merugi, apalagi lebih jelek maka dia menjadi orang yang zalim.

Keduabelas: Seusai membaca Al Qur’an diiringi doa tertentu, misalnya:

َصَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَبَلَّغَ رَسُولُهُ الْحَبِيْبُ الكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِن الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالحَمْدُللهِ رَبِّ العَالَمِيْن
“Maha Benar dan Maha Besar Allah, dan telah sampai Rasul-Nya yang tercinta dan mulia, dan kami atas demikian itu sebagai saksi dan orang-orang yang bersyukur. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.”
Namun jika menamatkan bacaan Al Qur’an secara keseluruhan, maka terdapat doa tersendiri.

Pengertian Ilmu Tajwid, Tujuan dan Hukum Mempelajarinya

SEKILAS TENTANG ILMU TAJWID
Pengertian Ilmu Tajwid, Tujuan Mempelajari Ilmu Tajwid, dan Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid.

A. Pengertian ilmu tajwid
Ilmu tajwid merupakan bagian dari ilmu ulumul Qur’an yang perlu dipelajari,mengingat ilmu ini berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat membaca Al Qur’an dengan baik. Sebagai ilmu tajwid dapat dipelajari sendiri, karena mempunyai syarat-syarat ilmiah,seperti adanya tujuan fungsi dan objek serta sistematik tersendiri.
• Tajwid (تَجْوِيْدٌ ) merupakan bentuk masdar, berakar dari fiil madhi (َجَوَّد) yang berarti “membaguskan”. Muhammad Mahmud dalam Hidayatul mustafiq memberikan batasan arti tajwid dengan ( الاِتْيَانُ بِالْجَيِّدِ ) yang berarti “memberikan dengan baik”. Sedangkan menurut arti istilahnya :

اَلتَّجْوِيْدُهُوَعلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ اِطَاءُكُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ وَمُسْتَحَقَّهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَالْمُدُودِ وَغَيْرِ ذَالِكَ كَالتَرْقِيْقِ وَالتَّفْخِيْمِ وَنَحْوِهِمَا.

“Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengatahui bagaimana cara melafalkan huruf yang benar dan di benarkan, baik berkaitan dengan sifat, mad, dan sebagainya, misalnya Tarqiq, Tafhim dan selain keduanya.’’

Pada pengertian itu dijelaskan, bahwa ruang lingkup tajwid berkenaan dengan melafalkan huruf-huruf hijaiyah dan bagimana tata cara melafalkan huruf-huruf tersebut sebaik-baiknya, apakah ia dibaca panjang, tebal, tipis, berhenti terang, berdengung, dan sebaigainya. Jika huruf tersebut dilafalkan sebagaimana tata caranya, maka fungsi tajwid sebagai ilmu memperbaiki tata cara membaca Alqur’an terpenuhi dan meyelamatkan pembaca dari perbuatan yang diharamkan. Namun jika hal itu diabaikan maka menjerumuskan pembaca pada perbuatan haram atau dimakruhkan. Misalnya berhenti pada kalimat yang haram waqaf, jika tuntunan ini diabaikan menjadikan perubahan makna yang meyalahi tujuan makna aslinya, dan mengakibatkan berdosa bagi pembaca.

B. Tujuan mempalajari ilmu tajwid

Sebagai disiplin ilmu, tajwid mempunyai tujuan tersendiri.
Sedangkan tujuanya mengacu pada pegertian tajwid diatas. adapun tujuan yang dimaksud adalah :

1. Agar pembaja dapat melafalkan huruf-huruf Hijaiyah dengan benar, yang di sesuaikan dengan mahraj dan sifatnya.
2. Agar dapat memelihara kemurnian bacaan Alqur’an melalui tata cara membaca alqur’an yang benar, sehinga keberadaan bacaan Alqur’an dewasa ini sama dengan bacaan yang pernaj diajarkan oleh Rasulullah, mengingat bacaan Alqur’an bersifat “ tanqifi’’, yakni mengikuti apa yang diajarkan rasulullah saw.

Allah berfirman :

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاَنَهُ فَاءِذَأَقَرَأْنَهُ فَاتَّبِعْ قُرْاَنَهُ (القيامة : ١٧-١٨

“Sesungguhnya mengumpulkan Alqur’an dan membacanya adalah tangung jawab kami, jika kami telah membacakan, maka kamu ikuti bacaan itu.” ( Q.S. 75, Al-qiyamah: 17-18 )

3. Menjaga lisan pembaca, agar tidak terjadi kesalahan yang mengakibatkan terjerumus ke perbuatan dosa.

Dari ketiga tujuan tersebut, maka dalam proses belajar-mengajar ilmu tajwid harus mempunyai kiat tersendiri untuk memenuhi tujuan yang di inginkan. Kiat yang dimaksudkan dapat berupa upaya sebagai berikut :

1. Antara guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar harus berhadap-hadapan, sehingga siswa mengerti benar suara yang dialunkan sekaligus dapat melihat mimik gurunya. Demikian itu sangat membantu dalam mengetahui kedudukan huruf secara pasti, baik berkaitan dengan mahraj maupun sifatnya.
2. Setelah pemberian teori ilmu tajwid, seorang guru langsung mempraktekkan teorinya, sehinga apa yang sudah dimiliki siswa tidak terlupakan dan memberikan pengalaman praktek secara benar.
3. Perlu pembiasaan membaca secara tekun, rajin, dan tabah bagi siswa dan seorang guru tetap memperhatikan bacaan siswanya.
4. Dalam praktek membaca Alqur’an, tidak perlu mengejar kuantitas (membaca yang banyak) tetapi yang lebih penting adalah meraih kualitas (biar sedikit asalkan benar), karena dengan belajar praktek sedikit yang benar maka mempermudah praktek selanjutnya. Sebaliknya, jika yang sudah dibaca itu banyak kesalahan, maka lebih sulit memperbaikinya.

C. Hukum Mempelajari Ilmu tajwid
Menurut Muhammad Mahmud, hukum mempelajari ilmu tajwid adalah fardu kifayah (wajib refresentatif), yaitu kewajiban yang boleh diwakilkan oleh sebagian orang muslim saja, namun praktek pengamalannya fardu ain (wajib personal), yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh pembaca Alqur’an.

Dilihat dari hukum tersebut, ilmu tajwid dapat diklasifikasikan sebagai ilmu alat yang dapat membantu perbaikan membaca Alqur’an, sehinga jika ilmu alat sudah dikuasai, mengharuskan adanya praktik, sampai alat itu benar-benar berfungsi sebagai penunjang yang dituju. Allah berfirman:

وَرَتِّلِ الْقُرْاَنَ تَرْتِيْلًا . المزمل :٤
“Dan bacalah Alqur’an itu dengan bacaan yang tertil “ ( Q.s : Al-muzammil :4 )

Pada firman diatas disebutkan lafal “ tartil” yang sebenarnya lafal tersebut mempunyai dua makna.
Pertama : makna hissiyah, yaitu dalam pembacaan Alqur’an diharapkan tenang, pelan, tidak tergesah-gesah, disuarakan dengan baik, bertempat ditempat yang baik dan tata cara lainnya yang berhubungan dengan segi-segi inderawi ( penglihatan ).
Kedua : makna maknawi, yaitu dalam membaca Alqur’an diharuskan dengan ketentuan tajwidnya, baik berkaitan dengan makhraj, sifat, mad, waqaf dan sebagainya. Makna kedua inilah yang pernah diyatakan oleh kholifah Ali bin abi Thalib, bahwa yang dimaksud tartil adalah ilmu tajwid yang berarti:

تَحْسِيْنُ الْحُرُوفِ وَمَعْرِفَةٌ الْوُقُوفِ
“Perbaikan bacaan huruf-hurufnya serta mengetahui tempat pemberhentian kalimat ”

Cukup sampai disini untuk pembahasan tentang Pengertian ilmu tajwid, tujuan dan hukum mempelajarinya.
Semoga menambah wawasan dan dapat menggerakkan hati kita untuk menjalankannya, amin ya mujiibassa-iliin.

September 30, 2018

Comments

comments