Minder, Bagaimana Salafush Shalih Mengatasinya?

Fenomena minder atau kurang percaya diri bisa mulai tampak sejak anak berusia 4 bulan. Ketika usia anak sudah genap setahun, gejala minder akan semakin jelas. Contohnya tatkala ia memalingkan wajahnya, menutup kedua matanya, atau menutup wajah dengan kedua telapak tangannya jika ia berbicara dengan orang yang belum ia kenal. Pada umur 3 tahun, anak bisa merasa minder manakala memasuki rumah yang belum dikenal. Ia adakalanya hanya duduk dengan tenang di pangkuan ibunya sepanjang waktu tanpa berbicara sepatah kata pun.

Solusi untuk menghilangkan minder adalah membiasakan anak untuk bergaul dengan orang lain. Baik dengan cara meminta teman untuk sering datang ke rumah atau sering menemani orang tua saat berkunjung ke rumah saudara atau keluarganya. Atau bisa juga dengan cara meminta mereka untuk mengajak bicara langsung orang yang berada di hadapannya, baik itu orang dewasa maupun anak kecil. Pembiasaan ini, biidznillah, akan melemahkan rasa minder dalam diri anak dan akan menumbuhkan rasa percaya diri, serta mendorong mereka untuk senantiasa berbicara yang benar dan tidak takut celaan.

Berikut ini adalah beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sejarah para pendahulu shalih, memberikan keteladanan kepada orang tua dan pendidik tentang cara mendidik anak agar memiliki keberanian dan bisa menghilangkan rasa minder dalam diri.

1. Diriwayatkan oleh Bukhari dan selainnya dari hadits Abdullah bin Umar –ketika itu Abdullah bin Umar belum dewasa- bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara pohon itu ada yang daunnya tidak jatuh dan pohon itu adalah perumpamaan seorang muslim. Pohon apakah itu?” Orang-orang pun mengira bahwa pohon tersebut adalah pohon di lembah.

Abdullah berkata, “Aku telah mengira bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku malu mengatakannya.” Orang-orang berkata, “Terangkan kepada kami pohon apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Itulah pohon kurma.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “Sebenarnya aku hendak mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku adalah anak yang paling kecil saat itu.”

Dalam riwayat lain juga diterangkan: “Aku melihat Abu Bakar dan Umar keduanya tidak berbicara, maka aku pun tidak ingin berbicara. Namun ketika kami berdiri, aku berkata kepada ayahku tentang apa yang terbetik dalam hatiku. Ayahku berkata, ‘Seandainya kamu berkata, itu akan lebih aku sukai daripada aku mempunyai unta merah’.”

1. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membawa secangkir minuman kemudian beliau meminumnya. Pada waktu itu, di sebelah kanan beliau ada seorang anak kecil dan di sebelah kirinya ada seorang lelaki tua. Beliau berkata kepada anak kecil, “Apakah engkau mengizinkan aku memberikan kepada mereka?” Anak kecil itu menjawab, “Tidak, demi Allah saya tidak akan mengutamakan bagianku darimu kepada seorangpun.”

2. Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Ibnu Abbas –ketika itu ia belum dewasa- bahwa ia berkata:

Pada masa kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu, ia pernah membawaku bertemu dengan para pembesar perang Badar dalam satu majlis musyawarah. Sepertinya salah seorang di antara mereka tidak senang. Kemudian berkata, “Mengapa anak kecil ini ikut masuk bersama kita, padahal kita juga memiliki anak kecil seperti dirinya (tetapi tidak kita ajak)?”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ia adalah anak yang telah kita ketahui.” [Ia adalah anak yang mendapatkan kekhususan lewat do’a dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu ta’wil.” (Ya Allah pandaikan ia dalam agama dan ajarilah ia tafsir)].

Kemudian pada suatu hari Umar memanggilku dan mengajakku bertemu bersama mereka, aku mengira bahwa Umar tidak mengajakku kecuali agar mereka bisa melihatku. Umar lalu berkata, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah Ta’ala, ‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan?’ (QS. An Nashr ayat 1)” Sebagian dari mereka menjawab, “Kita diperintah untuk banyak memuji Allah, beristighfar kepada-Nya apabila kita diberi kemenangan.” Sementara yang lain diam dan tidak berkomentar apapun.

Umar berkata kepadaku, “Apa menurutmu ayat tersebut demikian?”

Aku menjawab, ”Tidak.”

Umar berkata, “Lalu apa menurutmu?”

Aku menjawab, “Itu adalah ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diberitahukan kepada beliau. Allah berfirman, ‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.’ (QS. An Nashr: 1). Demikian itulah alamat ajalmu, oleh karena itulah, ‘Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.’ (An Nashr: 3).”

Umar berkata, “Aku tidak memiliki pendapat kecuali yang telah engkau katakan.”

1. Musim kemarau melanda dusun-dusun pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik. Kemudian datanglah orang-orang Arab menghadapnya, namun mereka takut berbicara. Di antara mereka ada seorang anak kecil yang bernama Wirdas bin Habib. Hisyam melihat anak itu kemudian berkata, ”Siapa yang ingin menghadapku? Aku persilakan masuk termasuk juga anak kecil.”

Anak kecil itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kami tertimpa musibah selama tiga tahun. Tahun pertama, lemak-lemak mencair. Tahun kedua, daging-daging habis dimakan. Dan tahun ketiga, tulang-tulang bersih dari sumsumnya. Sedangkan engkau memiliki kelebihan harta. Jika harta-harta itu milik Allah, bagikanlah kepada hamba-hamba-Nya. Jika harta itu milik mereka, atas dasar apa engkau mengambilnya dari mereka? Dan jika harta itu milikmu, sedekahkanlah kepada mereka! Karena sesungguhnya Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan.”

Hisyam berkata, “Tidak ada alasan yang ditinggalkan anak ini bagi kita dalam setahun itu.” Kemudian Hisyam memberi bantuan kepada penduduk desa sebanyak seratus dinar dan Wirdas mendapat seratus ribu dirham.

Wirdas menjawab, “Kembalikanlah bagianku itu kepada penduduk desa, wahai Amirul Mukminin! Karena aku khawatir bagian itu tidak mencukupi mereka.”

Hisyam bertanya, “Apakah engkau tidak membutuhkannya?”

Wirdas menjawab, “Aku tidak mempunyai kebutuhan khusus selain kebutuhan untuk seluruh kaum muslimin.”

Kemudian Wirdas keluar dan ia menjadi orang yang paling terhormat di antara kaumnya.

Kisah-kisah di atas menunjukkan kepada kita betapa putra-putra generasi salaf telah terdidik untuk membebaskan diri dari rasa minder. Hal ini disebabkan mereka dibiasakan untuk menjadi pemberani. Mereka dibiasakan menemani orang tua mereka menghadiri pertemuan-pertemuan khalayak ramai, mengunjungi kawan-kawan. Orang tua memotivasi anaknya agar berani bicara di depan orang dewasa. Kemudian mendorong anak yang memiliki kelebihan dan kefasihan dalam berbahasa untuk berbicara di depan pemimpin dan tokoh masyarakat. Bahkan anak-anak juga diajak memecahkan permasalahan umum serta problematika keilmuan bersama para ulama dan cendikiawan.

Maka, wajib bagi para orang tua untuk melaksanakan kaidah pendidikan di atas. Sehingga anak-anak tumbuh di atas keterbukaan yang sempurna dan keberanian yang baik. Ditekankan batas-batas kesopanan dan kemuliaan, memperhatikan perasaan orang lain dan menempatkan manusia pada tempatnya. Jika tidak demikian, maka yang terjadi justru sebaliknya. Yaitu keberanian menjadi rasa tak tahu malu dan keterbukaan menjadi sedikitnya sopan santun kepada orang lain. Wallaahu a’lam.

Disadur dari: Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan. 2014. Tarbiyatul ‘Aulad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam). Solo: Insan Kamil.

Comments

comments